Saya mendatangi sebuah bistro, menerima makan siang mewah gratis, menonton film, terkantuk-kantuk, dan pada akhirnya menulis berita bagai advertorial. Oh tidak! Idealisme bukan apa-apa lagi setelah bertemu kebijakan kantor. Saya tak mungkin berhenti praktek kerja lapangan hanya karena idealisme. Seberapa jauh seorang wartawan memertahankan idealisme mereka? Idealisme yang mana?
Bilik Abu, Kampung Bali, Jakarta, ngelindur.
-Lsy-
No comments:
Post a Comment