Pagi
ini saya menulis tweet yang saya
sesali, “Menyalakan kipas angin
pagi-pagi lazim adanya, maklum angin tak dapat masuk dari jendela karena
terhalang gedung. Betapa jauhnya dari alam”. Pada tweet tersebut saya menulis kata alam. Kata alam punya
banyak arti dan penafsiran.
Ketika
berjalan kaki ke kantor (well, saya
masih kuliah dan belum bekerja, kantor ini tempat saya praktek kerja lapangan)
tiba-tiba arti kata alam menyentil
saya. Saya pikir tempat saya berpijak ini disebut alam juga. Sejak kuliah
jurnalistik, saya jadi sering membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk
mencari arti kata dan hal itu yang saya pikirkan saat itu. Alam memang memiliki
banyak arti, ada sekitar tujuh penafsiran di sana. Tak ada satu pun penafsiran
yang persis mewakili kata yang saya tulis pada tweet tadi. Namun, ada satu yang mendekati: yang bukan buatan manusia.
Kata
alam di benak saya, sangat identik dengan tumbuh-tumbuhan, hewan liar, hutan,
dan kampung halaman. Saya akan merasa di alam, jika memijakan kaki di atas
gunung atau pantai, dua tempat yang menjadi tujuan masyarakat perkotaan ketika
ingin melepas penat. Istilah kelompok pecinta alam sudah akrab di telinga. Kata
alam yang ada dalam frase tersebut tentu saja bukan alam semesta keseluruhan,
tapi alam seperti yang telah saya jelaskan.
Kita pun mengenal istilah
kembali ke alam atau back to nature. John Bryant dalam buku Technology and
Culture menyebutkan back to
nature merupakan advokasi penggunaan makanan natural (mungkin natural di
sini bisa didefinisikan sebagai organik), ekologi, perlindungan lingkungan, kerajinan
tangan, dan sumber tenaga alternatif. Pergerakan kembali ke alam ini, mungkin
keputusasaan manusia terhadap kehidupan modern yang lama-kelamaan membuat ibu
pertiwi alias the mother earth lemah. Bukan perkotaan yang pertama kali
ditinggali manusia, tapi alam liar.
Meskipun kini tak mudah menemukan alam liar yang
seperti dulu, kita punya kesempatan untuk merawat alam yang ada. Mirisnya, tak ada
tindakan konkrit yang dapat saya lakukan untuk membuat perubahan besar bagi
alam. Saya hanya bisa menanam bunga matahari di halaman rumah dan melakukan
tindakan kecil lainnya, seperti tidak membuang sampah sembarangan, mengurangi
pemakaian kantong plastik, menggunakan transportasi umum, dan merindukan alam.
Standar memang, tapi apa lagi yang bisa saya lakukan?
Menghentikan penebangan ilegal kayu dan perburuan orang utan? Memberi donasi
untuk penanaman kembali hutan-hutan Sumatera dan Kalimantan yang gundul? Saya
tak sehebat dan sekuat itu. Kata pepatah sih, sesuatu yang besar berawal
dari tindakan-tindakan kecil. Saya percaya itu, meskipun ada sedikit pesimisme.
Saya realistis, saya tidak bisa menyelamatkan bumi (bukan dari kejahatan tentunya) seorang
diri. Saya hanya bisa bersyukur jika melihat para pengusaha menunjukan tanggung
jawabnya pada alam, salah satunya dengan membangun green building, juga
ketika melihat pergerakan-pergerakan
komunitas yang berusaha melindungi alam.
Adanya
Hutan Kota Babakan Siliwangi yang diusahakan oleh Bandung Creative City Forum
(BCCF) pun cukup membuat saya senang. Saya suka pergi ke taman dan
tempat-tempat yang penuh pepohonan, hutan kota ini salah satunya. Meskipun tak
ada tempat duduk di sana, saya bisa lesehan sambil ngemil dan mendengarkan
lagu. Sayangnya, jembatan yang ada di sana mulai rusak dan berlubang. Satu
lagi, mereka tak menyediakan tempat sampah, jadi saya harus tau diri dan membawa
sampah saya. BCCF adalah forum organisasi lintas komunitas kreatif di Bandung,
mereka seringkali membuat program yang bermanfaat bagi masyarakat Kota Bandung.
Ada pemberdayaan kampung menjadi kampung kreatif, penggunaan area Sungai Cikapundung
sebagai venue pemutaran film, dan
kerjasama mereka bersama komunitas Bike.Bdg dan Ikatan Alumni ITB untuk Bike Sharing atau penyewaan sepeda di beberapa
titik Kota Bandung. Pendekatan yang mereka lakukan dalam mengenalkan lingkungan
taman, hutan kota, dan sungai kepada anak muda sangat menarik. Menjadi keren
tak hanya datang ke konser belaka, tapi nongkrong di taman, hutan kota, dan
sungai pun membuat anak muda Bandung terlihat cool. Ha ha ha.
Masih
banyak pergerakan anak muda yang akrab dengan lingkungan. Selain punya banyak
komunitas sepeda, Indonesia juga punya komunitas Indonesia Berkerbun. Senangnya,
mereka sudah memiliki komunitas berkebun di 23 kota di Indonesia. Mereka punya
misi urban farming, yaitu memanfaatkan lahan tidur di kawasan perkotaan yang dikonversi
menjadi lahan pertanian/perkebunan produktif perkotaan. Mereka banyak mengadakan acara-acara menarik
seputar berkebun, dan punya kegiatan tanam bersama serta panen raya. Melihat timeline twitter mereka pun seru juga.
Kadang mereka mengingatkan pengikut twitter
mereka tentang berkebun. Mereka juga sering berbagi keceriaan event yang sedang mereka laksanakan.
Tunggu,
tunggu, tunggu, komunitas mana yang saya ikuti? Belum ada memang. Mungkin tahun
ini saya akan bergabung dengan salah satunya, biar bisa memberikan kontribusi
konkrit untuk alam ini. Mari!
Kantor Redaksi Kawanku, Jakarta, menunggu tugas hari ini.
-Lsy-
No comments:
Post a Comment