23.1.13

Alam


Pagi ini saya menulis tweet yang saya sesali, “Menyalakan kipas angin pagi-pagi lazim adanya, maklum angin tak dapat masuk dari jendela karena terhalang gedung. Betapa jauhnya dari alam”. Pada tweet tersebut saya menulis kata alam. Kata alam punya banyak arti dan penafsiran.

Ketika berjalan kaki ke kantor (well, saya masih kuliah dan belum bekerja, kantor ini tempat saya praktek kerja lapangan) tiba-tiba arti kata alam menyentil saya. Saya pikir tempat saya berpijak ini disebut alam juga. Sejak kuliah jurnalistik, saya jadi sering membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk mencari arti kata dan hal itu yang saya pikirkan saat itu. Alam memang memiliki banyak arti, ada sekitar tujuh penafsiran di sana. Tak ada satu pun penafsiran yang persis mewakili kata yang saya tulis pada tweet tadi. Namun, ada satu yang mendekati: yang bukan buatan manusia.

Kata alam di benak saya, sangat identik dengan tumbuh-tumbuhan, hewan liar, hutan, dan kampung halaman. Saya akan merasa di alam, jika memijakan kaki di atas gunung atau pantai, dua tempat yang menjadi tujuan masyarakat perkotaan ketika ingin melepas penat. Istilah kelompok pecinta alam sudah akrab di telinga. Kata alam yang ada dalam frase tersebut tentu saja bukan alam semesta keseluruhan, tapi alam seperti yang telah saya jelaskan.

Kita pun mengenal istilah kembali ke alam atau back to nature. John Bryant dalam buku Technology and Culture menyebutkan back to nature merupakan advokasi penggunaan makanan natural (mungkin natural di sini bisa didefinisikan sebagai organik), ekologi, perlindungan lingkungan, kerajinan tangan, dan sumber tenaga alternatif. Pergerakan kembali ke alam ini, mungkin keputusasaan manusia terhadap kehidupan modern yang lama-kelamaan membuat ibu pertiwi alias the mother earth lemah. Bukan perkotaan yang pertama kali ditinggali manusia, tapi alam liar.

Meskipun kini tak mudah menemukan alam liar yang seperti dulu, kita punya kesempatan untuk merawat alam yang ada. Mirisnya, tak ada tindakan konkrit yang dapat saya lakukan untuk membuat perubahan besar bagi alam. Saya hanya bisa menanam bunga matahari di halaman rumah dan melakukan tindakan kecil lainnya, seperti tidak membuang sampah sembarangan, mengurangi pemakaian kantong plastik, menggunakan transportasi umum, dan merindukan alam.

Standar memang, tapi apa lagi yang bisa saya lakukan? Menghentikan penebangan ilegal kayu dan perburuan orang utan? Memberi donasi untuk penanaman kembali hutan-hutan Sumatera dan Kalimantan yang gundul? Saya tak sehebat dan sekuat itu. Kata pepatah sih, sesuatu yang besar berawal dari tindakan-tindakan kecil. Saya percaya itu, meskipun ada sedikit pesimisme. Saya realistis, saya tidak bisa menyelamatkan bumi (bukan dari kejahatan tentunya) seorang diri. Saya hanya bisa bersyukur jika melihat para pengusaha menunjukan tanggung jawabnya pada alam, salah satunya dengan membangun green building, juga ketika melihat  pergerakan-pergerakan komunitas yang berusaha melindungi alam.

Adanya Hutan Kota Babakan Siliwangi yang diusahakan oleh Bandung Creative City Forum (BCCF) pun cukup membuat saya senang. Saya suka pergi ke taman dan tempat-tempat yang penuh pepohonan, hutan kota ini salah satunya. Meskipun tak ada tempat duduk di sana, saya bisa lesehan sambil ngemil dan mendengarkan lagu. Sayangnya, jembatan yang ada di sana mulai rusak dan berlubang. Satu lagi, mereka tak menyediakan tempat sampah, jadi saya harus tau diri dan membawa sampah saya. BCCF adalah forum organisasi lintas komunitas kreatif di Bandung, mereka seringkali membuat program yang bermanfaat bagi masyarakat Kota Bandung. Ada pemberdayaan kampung menjadi kampung kreatif, penggunaan area Sungai Cikapundung sebagai venue pemutaran film, dan kerjasama mereka bersama komunitas Bike.Bdg dan Ikatan Alumni ITB untuk Bike Sharing atau penyewaan sepeda di beberapa titik Kota Bandung. Pendekatan yang mereka lakukan dalam mengenalkan lingkungan taman, hutan kota, dan sungai kepada anak muda sangat menarik. Menjadi keren tak hanya datang ke konser belaka, tapi nongkrong di taman, hutan kota, dan sungai pun membuat anak muda Bandung terlihat cool. Ha ha ha.

Masih banyak pergerakan anak muda yang akrab dengan lingkungan. Selain punya banyak komunitas sepeda, Indonesia juga punya komunitas Indonesia Berkerbun. Senangnya, mereka sudah memiliki komunitas berkebun di 23 kota di Indonesia. Mereka punya misi urban farming, yaitu memanfaatkan lahan tidur di kawasan perkotaan yang dikonversi menjadi lahan pertanian/perkebunan produktif perkotaan. Mereka banyak mengadakan acara-acara menarik seputar berkebun, dan punya kegiatan tanam bersama serta panen raya. Melihat timeline twitter mereka pun seru juga. Kadang mereka mengingatkan pengikut twitter mereka tentang berkebun. Mereka juga sering berbagi keceriaan event yang sedang mereka laksanakan.

Tunggu, tunggu, tunggu, komunitas mana yang saya ikuti? Belum ada memang. Mungkin tahun ini saya akan bergabung dengan salah satunya, biar bisa memberikan kontribusi konkrit untuk alam ini. Mari!


Kantor Redaksi Kawanku, Jakarta, menunggu tugas hari ini.

-Lsy-

   

No comments:

Post a Comment