9.9.14

Tiga Pasang Jejak Kaki


Di sana ada yang aku kasihi. Tak kenal siapa, hanya tau rupanya. Baru beberapa bulan kemudian kami bertemu saling tatap. Orang asing yang nampaknya akan selalu begitu. Lagipula, kalau aku ke sana, aku hanya akan sibuk sendiri. Dibuat lelah dengan pikiran yang hanya berorientasikan materi. Mungkin itu hanya ketakutan belaka, aku yang tak mau jauh dari semua yang aku kenal. Jarak bukan masalah? Ah. Terserah apa kata kamu, jarak adalah masalah besar bagiku. Segalanya jadi memiliki kemungkinan tidak tepat waktu.

Pergi kemudian pulang dan istirahat. Berulang. Berjalan memikirkan semua yang dicinta nun jauh seratus lima puluh kilometer perjalanan. Untuk apa melakukan semua ini, untuk mereka kah? Mengorbankan banyak hal untuk bisa hidup. Bekerja untuk hidup... hidup untuk bekerja.



Sekadar melepas penat, aku mau jalan kaki saja. Sendirian. Lalu lalang kendaraan, berisik. Keringat mengucur, gerah. Kaki terus melangkah, sedikit demi sedikit mulai pegal. Tapi, pikiran lama-kelamaan segar. Waktu luang atau bukan, berjalan kaki mengobati penat. Aku bisa mendengar ocehan dan menimpalinya sendiri. Toh, orang-orang yang aku pikir menyayangiku kadang sama sekali tak mau tau. Mereka cuma mau aku dengarkan saja. Padahal mereka suka bicara omong kosong dan aku tetap mendengarkan. 

Aku ingin interaksi adu mulut. Aku sangat suka mengobrol, tapi tak semua bisa diajak begitu. Lebih enak jalan sendirian daripada berbicara sama orang yang tidak antusias mendengar celotehku. Apalagi tatapan mata mereka melihat kanan-kiri, sekeliling. Kaki bergerak-gerak seperti tak sabar menunggu. Setidaknya kalau tak mau menimpali, ada topik baru yang kamu lontarkan. Dalam kesendirian, kenali lah siapa kamu.
 


Kami bersama, tapi tak banyak bicara. Tak ada beban pikiran, semuanya terasa segar. Lama-lama semua kesegaran itu jadi jenuh. Ternyata ada banyak masalah kehidupan yang aku punya. Aku berjalan menatap langkah kaki kawanku. Kami tau mau ke mana, kami mengikuti jalur untuk mencapai puncak. Semua bergantung pada sudut pandang. Ketika aku hanya memandang tujuan sebagai inti terpenting, aku menyia-nyiakan banyak hal yang aku lewati. 

Aku perlu tujuan. Meskipun aku tak bisa sampai ke sana, setidaknya aku menikmati apa yang aku lewati untuk mencapainya. 


-Lana-

No comments:

Post a Comment