28.12.13

Detournement: Kemegahan di Bawah Cahaya Bulan

Bertahun-tahun figur keempat personil band kesayangan saya ini tertempel di dinding kamar, buku kolase dan barang-barang pribadi saya lainnya. Tak sampai menyamai umur mereka tahun ini memang, tapi betapa bersyukurnya saya bisa kenal dengan mereka. Genap berumur sepuluh di tahun 2013 ini, Detournement jadi perayaan megah yang tidak terlupakan. Ya, ini tentang konser band rock yang dicintai Indonesia, terutama para Insurgent Army, The Super Insurgent Group of Intemperance Talent alias The SIGIT.

Bertempat di The Venue Eldorado, Bandung, konser ini digelar bukan hanya untuk kepuasan penggemar belaka. Ada makna esensial yang mau mereka sampaikan lewat gelaran Detournement. Ini lah pencapaian terbesar The SIGIT sejauh ini. Dengan efek grafis yang bisa dibilang gila, lighting memukau, gimmick 'khamsa' di kedua telapak tangan Rektivianto Yoewono dan seluruh lagu yang diaransemen ulang, saya sangat puas berada di antara ribuan penonton lainnya. Entah terkira atau tidak sebelumnya bagi mereka yang datang, konser ini pada akhirnya meninggalkan kesan dalam memori.

Pukul enam sore, gerbang resmi dibuka. Baik antrian menuju venue maupun loket tiket masih terbilang padat. Menarik mengamati orang-orang yang berdatangan ke gedung yang terletak di bilangan Jalan Setiabudi, Bandung, Sabtu (26/10) malam itu. Di antara mayoritas penonton berkaos hitam, skinny jeans, boots, jaket/rompi jeans juga jaket kulit, tak jarang saya mendapati mereka yang berdandan nyentrik melenceng dari setelan 'seragam' turunan dari gaya rock 'n roll. 

Di balik penampilan mereka, perbedaan jarak tempuh masing-masing penonton pun jadi hal yang patut diacungi jempol. Tak hanya datang dari seputar Bandung dan Jakarta, terparkirnya bus bernomor polisi kota-kota lain di Pulau Jawa jadi bukti antusiasme Insurgent Army untuk melihat secara langsung gelaran ini. Tipografi penonton pun semakin jelas setelah masuk area stage. 

Butuh waktu sampai pukul sembilan lewat sampai penonton bersorak-sorai dalam kegelapan. Lampu venue padam dan dengan langkah pasti empat sosok berjubah menyantroni stage, menempati posisi masing-masing bersama alat musik mereka. Tak lama dari kedatangan empat sosok ini, track pertama pada album Detourn dimainkan bersamaan dengan grafis gila bertuliskan The SIGIT pada layar besar yang terpampang melatari stage. Keempat personil mengumandangkan Detourne, menandakan permulaan konser dengan kemegahan.

Set list disusun secara apik dan hampir berhasil mengajak saya rekreasi visual dan musikal secara sempurna. Pemanasan lewat dua lagu dari album pertama, disusul dengan nomor-nomor andalan dari album Detourn, tak luput dari respon penonton yang bergoyang ke sana ke mari, moshing atau sekadar bernyanyi bersama. Atmosfir malam itu berubah seketika saat sekelompok paduan suara wanita menyanyikan lirik AM Feeling dari EP Hertz Dyslexia Part II dengan pembagian suara yang begitu lirih. Minim instrumen dan dominan dengan kekuatan vokal, performa Rekti sebagai vokalis ketika membawakan lagu ini sungguh memesona. Tangan kurusnya bergerak bebas dengan kelenturan tertentu. Perpaduan paduan suara wanita dan The SIGIT malam itu adalah hal yang tak saya sangka akan bekerja sebaik ini.

Seperti aliran sungai yang mengalir karena kontur alami tanah yang menaunginya, emosi penonton dibawa lebih larut lagi dalam kelembutan tembang Owl and Wolf. Cahaya hijau toska dan visual bulan pada layar menambah romantisme dan menjadi representasi dari lirik, 'Under the crescent shades/ We hide, dance, and sing, and widely awake/ Rovers of the mountain forgotten away/ We hold the lights of this silent night'. Keindahan penampilan mereka tak luput dari kolaborasi dengan Marsella Safhira Farhat, yang dikenal sebagai vokalis latar band Sarasvati. Sesi mellow pun diakhiri dengan mengalunnya Midnight Mosque Song. 

Konser kembali memanas dengan rentetan nomor-nomor keras dari The SIGIT, macam Black Amplifier, Let the Right One In, Clove Doper, The Party dan Money Making. Keempatnya menguras keringat dan menaikan kurva emosi penonton secara bertubi-tubi. Hantaman terus-menerus ini membuat waktu terasa semakin cepat dan saya sampai tidak percaya konser ternyata harus berakhir. Ada sesuatu yang menggantung dan membuat saya mematung, 'Apa yang barusan terjadi?' Entah kenapa bukannya merasakan klimaks, encore dengan lagu Satan State justru semakin membuat saya kebingungan. Ada satu hal yang kurang dan saya masih belum mengetahuinya sampai detik ini.

Di luar penutup yang menimbulkan perasaan aneh, saya masih bisa merasakan kemegahan konser mereka kalau mengingatnya lagi. Kharisma mereka yang tidak pernah luntur seiring usia, senantiasa mengambil hati penikmat musik The SIGIT. Mereka tidak perlu repot-repot menjelaskan perubahan atau penambahan elemen dalam Detourn. Bahkan tak sedikit Insurgent Army memiliki pemikiran seperti mereka, bahwa sebuah band tidak perlu selalu terpatok dengan genre. Bahwasanya The SIGIT sah-sah saja memainkan dan membuat musik sesuai yang mereka mau. Lebih dari segi musikalitas, kecintaan para Insurgent Army kepada The SIGIT telah melampaui itu.


Ruang makan, tulisan yang telah lama tersimpan di notes smartphone saya, Syrup.

-Lana-

No comments:

Post a Comment