18.6.13

Resolusi Musik Tengah Tahun 2013

Sekian lama punya akun di last.fm, jurnal ini tak pernah tersentuh. Daripada dibiarkan kosong, saya mau cerita sedikit soal pengalaman saya menyentuh musik dari awal 2013 sampai pertengahan tahun ini. Sedikit saja, tak banyak.

Tahun ini para musisi kegemaran saya mengeluarkan album baru. Sebut saja cinta mati saya The Strokes, kenangan masa SMA The SIGIT, hantu folk Laura Marling, She & Him dan Yeah Yeah Yeahs yang jujur, sampai sekarang saya belum punya album barunya. Mengingat saya terlanjur merasa hambar melihat artwork album dan penampilan live mereka Februari lalu.

Ya, Februari lalu saya menyaksikan trio asal NYC ini. Sejak lama saya mengagumi mereka. Berawal dari ketertarikan saya terhadap vokalis erotis dan artsy Karen O, saya mulai menontoni video-video live mereka dari situs Youtube, mendengarkan lagu mereka, mencari tau latar belakang masing-masing personil sampai membeli CD YYYs bekas dari vokalis band rock favorit saya. Lucu memang, saya sering melewat track yang tak saya sukai pada setiap album mereka. Jadi, gelar fans sejati yang katanya harus hafal semua seluk beluk si artisnya itu memang bukan buat saya. Satu hal yang perlu digarisbawahi dari kecintaan terhadap YYYs, saya menyimpan lebih banyak perasaan pada Karen O dan jarang memerhatikan Nick, apalagi Brian. Hal ini saya sesali setelah saya menonton mereka secara langsung.

Waktu saya masih duduk di bangku SMA, sempat ada gossip kedatangan Karen O ke kota kelahiran saya, Bandung. Rumor berkata, dia bakal menghadiri peluncuran sebuah film. Ternyata rumor belaka. Bertahun-tahun berlalu, kabar kedatangan Karen O beserta segenap awak YYYs bukan lagi gossip. Kenyataan. Bukan mimpi. Saya bakal bertatap muka dengan Karen O yang benar-benar saya kagumi itu. Saya bakal melihatnya menyemburkan bir di udara saat bernyanyi. Saya akan melihatnya memakai kostum artsy besutan Christian Joy yang nyentrik itu. Saya akan mendengar lagu Date With The Night secara langsung beserta 'sex sound' yang dilenguhkan Karen O. Kira-kira itu lah yang ada di benak saya, saat kedua teman saya di kampus mengabarkan kedatangan band ini. 

Hampir semua harapan saya terwujud. Rasanya sangat gembira sampai mau menangis saja waktu melihat Karen O naik ke panggung. Pasalnya, band pembuka mereka benar-benar memuakan. Kasihan mereka harus membuka band sekelas YYYs yang kiprah musiknya sudah jauh membumbung tinggi. Ketimpangan luar biasa. Sayangnya, saya terlalu keras memikirkan YYYs awal debut sebelum berangkat ke sini. Sekarang Karen O dan gank YYYs seakan tampil seakan mengulang semua aksi panggung yang pernah mereka lakukan di masa lalu. Termasuk kerudung kampungan yang dia pakai menutup kepala sampai wajah semasa single Art Star baru keluar. Semuanya terasa begitu... profesional. Meskipun penampilan mereka begitu menakjubkan dan tanpa cela, perasaan sehari setelahnya tak semegah setelah saya menyaksikan band asal Islandia, Sigur Rós.

Seperti mimpi saja tahun ini. Band yang saya pikir tak akan pernah datang ke Indonesia, tahun ini datang dengan konsep yang memukau, Sigur Rós. Setelah kalah kuis dan tak punya sepeser pun uang untuk menonton mereka, tiba-tiba segenap tanda muncul. Saat itu, saya sedang mengerjakan zine dengan tema kekanakan dan tentu saja tak ada yang lebih pas dari album Takk... untuk mengiringinya. Nuansa magis dari bebunyian musik mereka dan suara halus Jonsi selalu berhasil membuat saya kembali merasa seperti anak-anak. Hampir seharian penuh mendengarkan mereka, membuat saya sadar akan sangat menyesalnya saya kelak kalau mereka tak akan datang lagi ke Indonesia, kapan lagi? Satu-satunya harapan saya adalah ikut kuis-lagi.

Kebetulan, saat itu sedang berlangsung festival film Europe On Screen. Satu film yang tak mau saya lewatkan, Inni, film dokumenter saat Sigur Rós menggelar konser di Alexandra Palace, London. Sungguh memukau alurnya dan saya bisa melihat lebih jelas detail-detail permainan mereka dari layar yang cukup besar itu di Erasmus Huis, Jakarta. Sulit untuk melewatkan setiap adegan, karena saya selalu penasaran apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. Perasaan yang jauh lebih hebat dari mendengarkan Takk datang setelahnya.

Tak lama dari festival film, editor memberikan dua album musik untuk saya resensi: Ólafur Arnalds, For Now I am Winter dan Sarah Brightman, Dreamchaser. Keduanya punya relasi dengan Sigur Rós. Pertama, Ólafur Arnalds sempat tur menjadi band pembuka Sigur Rós. Kedua, Sarah Brightman meng-cover lagu kesukaan saya Glósóli, meskipun kurang mengena di hati. Seolah mendapat teguran rasanya.

Dan datang lah momen itu.. saya menang kuis dan mendapatkan tiket. Tribun. Ya, tribun dan di sdut saja membuat saya bersyukur. Sensasi itu benar-benar nyata adanya. Ketidakpercayaan saya akan gimmick-karena kedengarannya hanya aksesoris bahan jualan-runtuh sudah. Konser Sigur Rós malam itu benar-benar satu paket yang sempurna. Musik, suasana, sensasi, pencahayaan, sampai air mata saya yang sempat keluar saking gembiranya mendengarkan Hoppípolla, lagu mereka yang paling komersil, berhasil membungkus malam itu jadi memori yang kalau diingat kapan pun tetap membuat badan merinding. 

Ya, semuanya memang sempurna pada konser 10 Mei itu. Kecuali... orang-orang yang mengangkat gadget mereka hampir separuh waktu konser. Otak mereka saja tak cukup untuk menyimpan memori indah itu? Sayang sekali kalau yang mereka ingat waktu itu adalah: melihat konser Sigur Rós dari balik layar iPhone.

Sementara dua konser mengagumkan itu menghinggapi sensor kebahagiaan saya, ada konser lainnya yang saya datangi hanya sebagai keharusan: Lenka. Dari wawancara tatap muka sampai melihatnya di atas panggung, saya kagum terhadapnya. Dia bukan penyanyi komersil yang cuma mengandalkan lagu buatan orang lain untuk dinyanyikan dan dijadikan uang saja. Lenka menjalani segala proses kreatif yang dilewati setiap 'musisi' dalam menelurkan karya dan dia orang yang sangat manis. Saya tak pernah memerhatikan karya-karyanya secara seksama dan baru sadar dia artis yang cukup crafty setelah mendapat tugas liputan dari kantor. Sayangnya, konser ketiganya yang dihargai sekitar 500 ribu rupiah itu jadi lahan promosi dari sebuah kontes pencarian bakat pada sebuah stasiun televisi. Penampilan Lenka malam itu cukup mengesankan, hanya saja saya melihat tak banyak yang menikmatinya. Lebih parah dari konser Sigur Rós, penonton di sini kebanyakan membawa iPad dan seringkali menghalangi penonton di belakangnya. Meskipun saya tak begitu nge-fans dengan Lenka, saya sangat mengapresiasi segala proses kreatif yang dia jalani sebelum menelurkan album.

Lantas.. bagaimana dengan album-album yang saya dengarkan sampai bulan Juni ini? Saya tersesat dan saya semakin menyadarinya ketika teman saya bertanya soal album terbaik tahun ini. Tidak Tahu. Musisi-musisi kesukaan saya pun tidak menelurkan album terbaiknya tahun ini, biasa saja. Rekomendasi album terbaik dari sebuah situs musik pun tak cocok dengan telinga saya. Saya pun sempat membeli beberapa album band lokal, tak sebaik karya-karya sebelumnya. Mungkin pengecualian buat The SIGIT. Karena tak menganut paham 'genre' dalam bermusik, mereka cukup konsisten dalam melakukan perubahan dan penambahan instrumen. Seperti pada album Detourn. Memang, terkadang bakal terdengar nada-nada familiar pada beberapa lagu dan satu lagu terasa seperti dua lagu karena tidak adanya 'hook' atau penghubung. Dan.. saya benci akhir fade-out. Saya suka album ini, tanpa alasan. Seperti nostalgia rasa cinta pada mereka jama SMA dulu.

Tapi, tetap saja saya masih tersesat dan belum menemukan album terbaik tahun ini.



Sebenarnya ini diketik buat jurnal di akun last.fm saya, tapi ya sudah lah.


-Lsy-

No comments:

Post a Comment