7.1.17

nona banyak alasan

kulit terasa lengket, udara di kota ini jauh lebih panas dibandingkan kota lain yang pernah ia datangi. maklum saja, lokasinya dekat pantai, kota pelabuhan juga. meskipun demikian, saat itu sama sekali tak ada waktu menginjakan kaki di pesisir pantai yang jaraknya tak sampai lima kiloan.

ia menelusuri setiap gang tanpa binar mata. alih-alih bernostalgia, tujuannya ke sana adalah untuk menimpa memori yang sebelumnya melekat di jalanan kota itu. baginya, tak ada kenangan yang bisa terhapus. ia cuma bisa menggantinya dengan memori baru. sesuatu yang baru hampir selalu berhasil membuat usang barang lama. peluangnya cukup besar; ketimbang resiko gagal.

tak lama setelah pantulan sinar matahari pagi terlihat di polder, mereka berjalan tanpa tau mesti ke mana. dengan mata sembap, keduanya tak mau saling tatap ketika bicara. setelah membumbui hubungan mereka dengan orang ketiga berkali-kali, si nona minta menyerah saja. padahal ia sudah jumpalitan melakukan segala hal untuk bertahan.

tak kuat menahan rindu. tak kuat menahan nafsu. begitu kesimpulan yang bisa ia ambil dari alasan-alasan si nona. muncul pula kalimat, bahwa nona sudah lelah terus-menerus mendosa. padahal, sejak awal mereka tanpa perjanjian telah mengiyakan untuk tidak mengindahkan norma. pembuktian di hadapan agama atau negara, itu urusan belakangan, yang penting semua bisa berjalan sesuai kehendak mereka.

memori tentang perbincangan itu kini telah tertimpa. ia sudah cukup lega. tuntas sudah satu hal yang mengganjal itu. habis sudah peduli untuk si nona.

sementara di barat sana, nona malah menjilat ludahnya sendiri. ia menahan rindu dan menahan nafsu, lalu tidak mengindahkan norma. pembuktian di hadapan agama atau negara, itu urusan belakangan, yang penting semua bisa berjalan sesuai kehendak nona dan lelaki yang kini setiap kali ada kesempatan dicumbuinya.

-Lana-

No comments:

Post a Comment