7.1.13

(Tidak) Boleh Seenaknya

Saya sering berdebat soal apa yang harus dan tidak harus disampaikan di media sosial, terutama Twitter. Well, sebenarnya perdebatan itu tak penting adanya, karena di Twitter setiap orang memiliki hak penuh akan apa yang disampaikannya, apa pun itu. Seperti yang ada dalam Terms of Service yang mereka punya, setiap orang punya kebebasan mutlak. Tapi setau saya tidak ada yang namanya kebebasan mutlak.

Kemarin kasusnya baru saja terjadi. Identitas orangnya akan saya samarkan saja, sebelum mendapat persetujuan. Abang yang satu ini sangat suka nge-tweet, apalagi kalau lagi kesal dan enggak ada kerjaan. Kadang dia curhat soal kehidupan kelamnya. Kadang isi tweet-nya jorok, kadang kasar pula. Semuanya Abang ini sampaikan di Twitter. Sampai di sini memang Abang ini tak salah apa-apa. Dia cuma suka nge-tweet karena dia merasa didengar. Kalau bicara di depan umum kan belum tentu ada yang dengar.

Sampai suatu hari, dia sadar beberapa orang tidak suka dengan caranya berbicara lewat Twitter. Malah ada yang bilang kekanak-kanakan. Saya pikir kita bisa bicara semuanya di sana, tapi tidak. Tidak semua bisa kita sampaikan di sana. Mungkin kita merasa memiliki kekuasaan di sana, karena ada tombol follow/unfollow. Tapi kita juga harus ingat, apa yang membuat orang lain mau jadi pengikut kita. Kebanyakan orang yang saya ikuti dan yang mengikuti akun saya adalah teman. Beberapa akun saya sengaja ikuti karena saya penggemar mereka, yang lainnya saya ikuti karena saya memang butuh informasi dari akun mereka. Jarang saya mengikuti akun seseorang hanya karena menyukai dan setuju dengan tweet mereka. Tombol follow/unfollow yang sekarang ada itu begitu kaku dan penuh formalitas bagi saya. Jadi, kalau pun teman atau mungkin keluarga saya rajin nge-tweet kalimat tidak penting dan tidak saya sukai sama sekali, saya rasa saya segan mengklik tombol unfollow.

Saya pribadi tidak mau jadi palsu dan menjaga citra di media sosial. Apa yang saya katakan di sana memang apa adanya. Memang saya pendiam dan tak banyak bicara di beberapa lingkup pertemanan, itu cuma soal kenyamanan. Twitter adalah tempat paling nyaman untuk jadi diri sendiri. Kadang saking nyamannya orang jadi kelewat liar. Kita cuma perlu sadar, meskipun Twitter dunia maya, di sana juga ada etika yang berlaku sama seperti saat kita jadi manusia di alam nyata. Mungkin, kalau orang bilang tak enak melihat tweet  kita, ada masalah dengan etika?    


Kamar, dalam keheningan

-Lsy-

No comments:

Post a Comment