11.3.14

Refleksi


Tirai itu tidak pernah tertutup lagi. Semua terlihat jelas meski terhalang kaca dan kusen kotak-kotak bercat hitam. Biru lembut, hijau tua dan cokelat kayu milik pagi. Aku tidak ingat kapan terakhir kali merasakanmu. Hari baru. Tanda itu adalah kebahagiaan. Dari balik selimut itu, aku tak pernah memaksakan diri untuk bangun. Aku berkeinginan. Membuka mata dan merasa. Siapa yang akan kutemui, aku tidak peduli. Bayang-bayang atau tubuh berjiwa, sosok asing atau kawan lama.

Aku hanya melihat siang kelabu dan penyesalan. Tanda itu tidak pergi, dia semu. Akalku dikelabui. Waktu terus berjalan dan memperbaharui diri. Tidak ada hari baru. Aku hanya bisa menyesal di balik selimut, atas semua yang aku lewatkan. Aku tidak berkeinginan. Satu sosok yang ingin kutemui, aku sangat peduli. Dalam khayal aku memaknai. Dalam kebodohan aku menyangkal. Kebohongan itu datang dari hatimu sendiri dan kamu percaya.

Percuma tidak lagi jadi penyanggahan untuk menikmati waktu dalam kekosongan. Meski semu, segala kekosongan itu bermakna keindahan. Lagipula, tak ada yang bisa kamu miliki di dunia ini. Batas antara penginderaan tubuh dan pikiran sudah saru. Kamu ingin menjalani hidup dalam sistem yang ada dan menjadi bagian dari mereka. Tak apa kalau itu pilihanmu. Aku memiliki keyakinan lain yang membuatku bertahan dalam duniaku. Aku percaya karma, tapi aku tak perlu balasan darimu.

Bahwa kita terhubung, itu benar adanya. Dalam hati yang sempit, aku merefleksikan rasa, sendirian. Jika kekuatan pikiran ini melalui lorong-lorong yang tak kuketahui kehadirannya dan menghasilkan keajaiban, itu sebuah keberuntungan. Aku tak pernah jatuh atau menjatuhkan diri. Sebuah rasa datang dengan sendirinya. Kamu tidak bisa memilih untuk menyimpannya atau membuangnya. Kamu disihir waktu. Jika suatu saat dia pergi, aku tau itu semua bukan kepercumaan.

-Lana-

No comments:

Post a Comment