Berbeda dengan kuliah,
di mana saya dijejali keterampilan dasar soal jurnalistik, di sini saya
dibekali sesuatu yang lebih nyata dan spesifik: dunia remaja putri. Sebuah
dunia di mana kebanyakan dari mereka memiliki permasalahan yang sama, masih
mencari jati diri, dan tokoh panutan. Satu topik bahasan yang tidak akan ada
habisnya dibahas, seperti topik lainnya. Membuat sebuah bacaan yang tepat untuk
mereka bukan lah hal yang mudah. Dari kehadiran berbagai media massa yang ada
di negara ini dengan jelas kita bisa melihat, setiap kelompok memiliki
kepentingan dan selera masing-masing.
Saya selalu berasumsi,
setiap orang punya topik pembicaraan yang selalu bisa mereka andalkan. Sesuatu
yang benar-benar mereka pahami dan sukai. Kebebasan mengemukakan hal itu tak
saya temukan dalam perkuliahan. Semasa kuliah saya pusing dijejali berbagai
macam berita dan kebanyakan datang dari surat kabar (dan majalah macam Tempo dan Gatra). Dalam kehidupan sebenarnya saja, saya tidak hanya membaca surat
kabar, saya juga membaca berbagai macam majalah.
Dalam surat kabar,
kita memang dapat menemukan semua topik. Semuanya. Seni, budaya, politik,
ekonomi, bahkan fashion sekalipun.
Mungkin itu yang coba diajarkan di tempat saya kuliah, wartawan harus pintar,
cerdas, dan menguasai berbagai masalah yang ada di dunia, bukan hanya
Indonesia. Kami diajarkan betapa pentingnya pengetahuan umum di atas apa pun.
Kami juga sering diberi tahu, jika bekerja di sebuah surat kabar, kita tidak
akan hanya duduk di saru bidang yang sama seumur bekerja di sana. Setelah saya
sadari, saya memang bukan ‘orang surat kabar’. Saya menyukai sesuatu yang
spesifik. Maka, majalah lah yang saya pilih.
Setelah merasa
terkekang di kampus, saya merasa praktek kerja ini merupakan pembebasan. Kami
bebas (meskipun ada pembatasan tertentu, memang tak ada kebebasan mutlak, kan?)
memilih tempat praktek kerja yang kami mau dan bukan hanya surat kabar.
Mungkin itu tujuan
mereka.
-Lsy
No comments:
Post a Comment