6.2.13

Terlalu Mudah Hidup di Bandung

Terlalu mudah hidup di Bandung. Lima kata tadi langsung menempel di pikiran saya setelah mengarungi hari ini. Jakarta yang dua minggu terakhir sangat baik kepada saya, berubah jadi tikus got mengerikan yang bisa membuat saya menjerit histeris. Salah satu faktor yang turut berperan adalah PMS.

Mungkin saya berpikir kelewat positif akhir-akhir ini, jadi giliran diberi perasaan sensitif jatuhnya kelewat negatif. Formasi tujuh lima dan dua orang di bangku artis ala angkot Bandung, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kopaja, metromini, transjakarta, dan bis-bis lainnya di Jakarta saat jam sibuk. Kemacetan Jalan Dr. Djundjunan (Pasteur) baik hari kerja maupun libur, kalah parah dengan macetnya Jakarta saat didera banjir. Beberapa jalan di Bandung yang sering tergenang kubangan air tak sampai semata kaki pun terasa indah diingat, karena kenyataannya beberapa menit yang lalu saya baru saja menyebrangi banjir dengan ketinggian sekitar 30 cm untuk sampai ke tempat kost.

Segalanya terasa begitu lancar ketika saya berada di kota kelahiran saya, Bandung dan kota tempat tinggal saya, Cimahi. Masalah terbesar yang saya hadapi hanya ketinggalan bis. Masalah lainnya hanya menjadi orang ketujuh yang duduk di deretan kursi angkutan kota yang ada di sebelah kanan supir. Selalu ada jalan untuk pulang, karena banyak ‘rumah’ di sana. Sebagian besar teman baik dan keluarga saya ada di Bandung dan Cimahi. Tak ada masalah tidak mendapat tempat di agen shuttle, kehabisan tiket kereta, atau sulitnya akses ke terminal bis.

Untuk memahami sebuah kota, kita tidak bisa hanya memandanginya dari kejauhan, kita harus meninggalinya. Untuk merindukan sebuah kota, kita hanya perlu meninggalkannya. Untuk mencintai sebuah kota, saya hanya perlu menjadi terbiasa dan.. itu lah hal yang paling sulit dilakukan. Saya hanya terbiasa tinggal di kota kelahiran dan tempat tinggal saya.

Menteng Kecil, sepatu kesayangan basah gara-gara banjir.

-Lsy-






No comments:

Post a Comment