Mungkin saya berpikir kelewat positif
akhir-akhir ini, jadi giliran diberi perasaan sensitif jatuhnya kelewat
negatif. Formasi tujuh lima dan
dua orang di bangku artis ala angkot Bandung, tidak ada apa-apanya dibandingkan
dengan kopaja, metromini, transjakarta, dan bis-bis lainnya di Jakarta saat jam
sibuk. Kemacetan Jalan Dr. Djundjunan (Pasteur) baik hari kerja maupun libur,
kalah parah dengan macetnya Jakarta saat didera banjir. Beberapa jalan di
Bandung yang sering tergenang kubangan air tak sampai semata kaki pun terasa
indah diingat, karena kenyataannya beberapa menit yang lalu saya baru saja
menyebrangi banjir dengan ketinggian sekitar 30 cm untuk sampai ke tempat kost.
Segalanya terasa
begitu lancar ketika saya berada di kota kelahiran saya, Bandung dan kota
tempat tinggal saya, Cimahi. Masalah terbesar yang saya hadapi hanya
ketinggalan bis. Masalah lainnya hanya menjadi orang ketujuh yang duduk di
deretan kursi angkutan kota yang ada di sebelah kanan supir. Selalu ada jalan
untuk pulang, karena banyak ‘rumah’ di sana. Sebagian besar teman baik dan
keluarga saya ada di Bandung dan Cimahi. Tak ada masalah tidak mendapat tempat
di agen shuttle, kehabisan tiket
kereta, atau sulitnya akses ke terminal bis.
Untuk memahami sebuah
kota, kita tidak bisa hanya memandanginya dari kejauhan, kita harus
meninggalinya. Untuk merindukan sebuah kota, kita hanya perlu meninggalkannya.
Untuk mencintai sebuah kota, saya hanya perlu menjadi terbiasa dan.. itu lah
hal yang paling sulit dilakukan. Saya hanya terbiasa tinggal di kota kelahiran
dan tempat tinggal saya.
Menteng Kecil, sepatu kesayangan basah
gara-gara banjir.
-Lsy-
No comments:
Post a Comment