17.4.13

Curiousity

Hal yang membuat Alice bertahan di Neverland adalah rasa ingin tahunya yang tinggi. Saking semangatnya, ia sampai mengatakan kata paling terkenal dari buku itu, ‘curiouser curiouser’. Apakah kalian memiliki rasa ingin tahu sebesar milik Alice? Atau lebih besar lagi? Karena hal itu yang bisa membuatmu bertahan hidup. Hidup dalam sosialita.

Otak saya tak selalu berisi, tapi seringkali banyak hal yang saya pertanyakan di sana. Kebanyakan tentang kehidupan, manusia, hal-hal dan sialnya saya terlalu pemalu untuk mendiskusikan hal itu dengan orang lain. Awal mula permasalahan ini adalah: saya punya rasa ingin tahu yang rendah kepada orang lain. Hal itu terbunuh rasa ingin tahu saya terhadap hal lain yang.. menurut saya lebih penting. Padahal (mungkin) bersosialisasi lebih penting.

Dipandang antisosial, pemalu, pendiam dan sebagainya, jadi sebuah konsekuensi. Saya jarang bisa mengikuti percakapan teman-teman di kampus, karena ketertarikan kami berbeda. Ketika ditanya, saya hanya bisa tersenyum dan mengiyakan. Sering sedih gara-gara ini. Saya tak tertarik politik, ekonomi, dan hal-hal yang di mata saya ‘serius’. Padahal pembicaraan di kampus tak pernah jauh dari hal-hal semacam itu. Kalaupun tidak, hanya gosip, banyolan dan saling mengejek satu sama lain. Saya bisa saja belajar, memahami dan mencari tau tentang semua itu. Tapi, ada semacam pertentangan dalam batin saya. Rasanya seperti lagu The Strokes ini: We’re in a forest, we don’t belong~

Masalah adaptasi di lingkaran ini pun seakan tak kunjung selesai. Jika saya banyak bicara, tertawa terbahak-bahak dan melempar candaan, saya dikira aneh. Bagi mereka hal itu benar-benar tak mencerminkan seorang Lana. Mungkin bagi mereka saya bukan manusia ‘normal’. Sekan-akan saya ini kutub utara yang kalau suatu saat mencair bakalan jadi masalah besar. Padahal saya pikir saya cuma es batu yang kalau nyemplung ke dalam teh manis hangat bakalan mencair. Masalah adaptasi bisa saja ada di pihak lingkungan, bukan hanya di si pendatang.

Saya cukup penasaran dengan mereka ini, teman-teman kampus. Saya tidak diam menutup mata dan telinga di hadapan mereka. Komentar dan obrolan yang mungkin saja terjadi di antara kami tak pernah terjadi lantaran saya merasa tak pernah diterima. Kebanyakan dari mereka cuma mau didengarkan-meski ada di antaranya yang menerima pendapat saya dan asyik diajak berdiskusi. Baik lah, sampai di sini saya sadar, rasa ingin tahu saya terhadap orang-orang yang dalam jangka waktu panjang ada di sekitar saya, cukup tinggi. Apalagi kalau kami saling membutuhkan.

Sekarang, saya dalam masalah lagi. Saya ada di tempat kos, yang orang-orangnya entah saya butuhkan atau akan saya butuhkan kelak di masa depan dan.. dua bulan berlalu tapi saya belum mengenal mereka!


Jakarta, sial lampu kamar padam dan belum ada gantinya!

-Lsy-

No comments:

Post a Comment